Jinsei Gyakuten Uwaki Sare Volume 1 SS 2
§ MelonBooks Special Exclusive Bonus: Original Short Story Leaflet
“Sepulang sekolah, datanglah ke belakang gym. Ada hal penting yang ingin kubicarakan.”
Pagi itu, aku menemukan sepucuk surat yang dimasukkan ke dalam loker sepatuku. Begitu aku membacanya, rasa takut menyelimutiku. Bahkan tidak ada nama di sana, yang hanya menambah kegelisahanku. Rupanya, bagian belakang gym adalah tempat pengakuan di sekolah ini. Aku sudah sering mendengarnya selama semester pertama sehingga aku sudah muak. Semua orang sepertinya memilih tempat itu. Suatu kali, aku bahkan dipanggil ke sana oleh dua orang yang berbeda pada waktu yang sama.
Perhatian yang tidak diinginkan dari pria yang hampir tidak kukenal bukanlah hal yang menyenangkan—itu menakutkan. Bagian belakang gym tidak terlihat, dan kecuali ada kegiatan klub yang sedang berlangsung, tidak ada orang lain di sana. Jika terjadi sesuatu, bahkan untuk meminta bantuan pun mungkin tidak akan diketahui. Aku sudah meminta seorang teman di kelas untuk menunggu di dekatnya, untuk berjaga-jaga. Aku juga sudah punya rencana dengan Kuroi—satu kali tekan tombol di ponselku, dan dia akan berlari.
Kenapa aku harus bersusah payah hanya untuk merasa aman? Itu melelahkan, terutama ketika aku sudah takut pada orang lain.
Sejak aku mulai masuk ke sekolah ini, di mana tidak ada yang mengenalku, aku menyadari bahwa orang-orang hanya memperhatikanku karena penampilanku. Jika mereka tahu tentang diriku yang sebenarnya atau masa laluku, aku yakin mereka akan lari menjauh.
Aku membenci diriku sendiri karena selalu berpikir seperti ini.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama. Kumohon, pergilah bersamaku.”
Tentu saja, itu adalah pengakuan yang lain.
Berdiri di hadapanku adalah seorang laki-laki dari kelasku. Aku samar-samar mengenalinya—kami memiliki kelas pilihan yang sama, meskipun interaksi kami tidak pernah lebih dari sekedar menyapa dengan sopan. Bagaimana mungkin seseorang seperti dia bisa mengembangkan perasaan padaku dengan hubungan yang begitu dangkal? Itu sudah jelas. Dia hanya peduli dengan penampilanku.
“Maafkan aku. Aku tidak punya rencana untuk berkencan dengan siapa pun.”
Aku memberinya penolakan yang sopan namun tegas seperti yang biasa kuulangi. Tolong, jangan memaksa lebih jauh. Permohonan diam-diam itu bergema di dalam hatiku, tetapi seperti biasa, harapanku hancur.
“Apa yang bisa kulakukan agar kau menyukaiku? Jika kita berkencan, kita bisa saling mengenal satu sama lain dengan lebih baik, dan aku akan melindungimu.”
Jangan mengatakan hal-hal seperti melindungiku begitu saja. Kau tidak menyadarinya, tapi mendengarnya membuatku merasa seperti menginjak-injak lukaku.
“Janji itu... hanya membuatku semakin terluka.”
Aku membisikkan kata-kata itu dengan pelan, terlalu pelan untuk didengarnya, dan menghela napas frustrasi.
“Inilah kebenarannya: jika aku jatuh cinta pada seseorang, itu bukan seseorang yang hanya memikirkan diri mereka sendiri. Itu akan menjadi seseorang yang benar-benar mempertimbangkan perasaanku terlebih dahulu. Tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan yang menunjukkan bahwa mereka peduli. Dan orang itu... bukan kau.”
Aku menyampaikan penolakanku dengan jelas, tanpa menyisakan keraguan. Tanpa sedikit pun keraguan, aku berjalan pergi.
“Syukurlah! Ichijo-san, apa kau terluka?”
Saito-san, wakil ketua kelas, menyambutku dengan ekspresi lega saat aku tiba di dekat pintu masuk gym di mana dia telah menunggu.
“Aku baik-baik saja. Maaf telah menyeretmu ke dalam kekacauan ini.”
“Tidak masalah, sungguh. Kudengar Amada-senpai dari kelas dua juga berurusan dengan penguntit. Itu menakutkan, kan?”
“Hah?”
Kebingunganku pasti terlihat di wajahku karena Saito-san dengan cepat menjelaskan. Dia memberitahuku bagaimana rumor tentang hal itu menyebar dengan cepat, terutama di media sosial sekolah.
“Oh, begitu. Aku tidak tahu itu.”
Aku memberikan respon netral tetapi dengan cepat mengalihkan pembicaraan ke tempat lain. Reaksi keras sekolah terhadap rumor itu terasa sedikit berlebihan. Atau mungkin itu terlalu dekat dengan rumahku. Mendengar orang orang bergosip dengan kebencian mengingatkanku pada kenangan menyakitkan yang ingin kulupakan.
Aku belajar dari pengalamanku saat itu: Jaga jarak dari pusaran kekejaman orang lain.
Pada saat itu, aku tidak tahu bahwa aku beringsut lebih dekat dengan takdir.
Gabung dalam percakapan